PARIS – Serangan udara di Libya terus berlanjut. Namun, ada satu pertanyaan besar yang belum terjawab. Negara atau organisasi apa yang pantas memimpin operasi militer di Libya?
Boleh jadi salah satu di antara negara-negara sekutu terkait, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis, atau jangan-jangan malah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan itu sampai sekarang masih menjadi misteri. Tapi begini,paling tidak ada yang bisa disimak dari keberadaan pasukan Sekutu di Libya.Prancis, Inggris, dan AS melakukan serangan udara dengan nama kode yang berbeda satu sama lain.
Karena masing-masing memiliki sandi khusus, menjadi sulit untuk menentukan pihak-pihak mana yang tengah menyerang. Yang jelas,semua partisipan pada serangan udara Libya berada di bawah koordinasi AS. Tapi, ada satu yang perlu digarisbawahi, bahwa AShanya sebagai” koordinator”,bukan”komandan”. Dengan kata lain, negara adidaya itu bukan pemimpin serangan udara di Libya. Padahal, bila mau menilik pandangan sekutu AS, negeri adidaya itu dirasa pantas menjadi pemimpin serangan. Seperti dikatakan Kementerian Pertahanan Prancis yang sempat dilansir New YorkTimes.Menurut Kementerian Pertahanan Prancis, AS dengan segala aset yang dimiliki sebenarnya layak jadi pemimpin serangan.
Lantas bagaimana AS menanggapi pandangan itu? Secara mengejutkan, Gedung Putih justru berniat mundurdariLibya danmenyerahkan tanggung jawab kepada NATO. Menteri Pertahanan AS Robert Gates secara langsung sudah mengungkapkan posisi AS terkait isu transfer koordinasi. Menurut Gates, seperti dikutip BBC,kontrol serangan nantinya akandilakukanSekutudibawah kepemimpinan entah Prancis, Inggris,atau NATO. Niat AS itu mendapat dukungan Inggris, tapi tidak dari Prancis. Sementara, Italia merasa perlu berpikir ulang, apakah akan bergabung pada pasukan serangan udara Libya atau tidak. Wajar bila keputusan belum juga diambil. Bagaimanapun, Roma selama ini memiliki hubungan yang dekat dengan Libya. Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini pada Senin (21/3) lalu telah menyampaikan posisi negaranya dalam koalisi serangan udara di Libya.Boleh jadi salah satu di antara negara-negara sekutu terkait, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis, atau jangan-jangan malah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan itu sampai sekarang masih menjadi misteri. Tapi begini,paling tidak ada yang bisa disimak dari keberadaan pasukan Sekutu di Libya.Prancis, Inggris, dan AS melakukan serangan udara dengan nama kode yang berbeda satu sama lain.
Karena masing-masing memiliki sandi khusus, menjadi sulit untuk menentukan pihak-pihak mana yang tengah menyerang. Yang jelas,semua partisipan pada serangan udara Libya berada di bawah koordinasi AS. Tapi, ada satu yang perlu digarisbawahi, bahwa AShanya sebagai” koordinator”,bukan”komandan”. Dengan kata lain, negara adidaya itu bukan pemimpin serangan udara di Libya. Padahal, bila mau menilik pandangan sekutu AS, negeri adidaya itu dirasa pantas menjadi pemimpin serangan. Seperti dikatakan Kementerian Pertahanan Prancis yang sempat dilansir New YorkTimes.Menurut Kementerian Pertahanan Prancis, AS dengan segala aset yang dimiliki sebenarnya layak jadi pemimpin serangan.
Frattini yang saat itu berada di Brussels menegaskan, Italia tidak akan terlibat dalam serangan kecuali misi berada di bawah komando NATO. Dari London dilaporkan, Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron telah bertemu parlemen.Cameron sekali lagi meminta supaya Inggris menentukan posisi. Meski tajuknya meminta,Cameron merasa Inggris hanya perlu satu posisi, yakni mengambil alih komando atas satuan militer internasional di Libya. ”Biarkan saya menjelaskan bagaimana koalisi ini nantinya bekerja.Ini (pasukan Sekutu di Libya) beroperasi di bawah komando AS yang akan ditransfer ke NATO. (Kondisi) itu akan memudahkan sekutu NATO yang ingin bergabung (dalam serangan),” sahut Cameron seperti dilansir The Times.
Tapi, Prancis keberatan mengubah misi Libya itu menjadi operasi NATO.Alasannya, sejak awal negara-negara Arab tidak mau ada label NATO di misi itu. Senin (21/3) lalu Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe menegaskan, Liga Arab tidak mau kalau operasi itu seluruhnya di bawah tanggung jawab NATO.”Bukan NATO yang mengambil inisiatif hingga sekarang,” ujar Juppe sebagaimana dikutip The Times. Menurut Juppe, koordinasi AS terkait intervensi itu sangat dekat dengan Prancis dan Inggris.”Dalam beberapa hari, kalau AS menarik diri dari operasi itu, maka NATO akan siap memberikan dukungan untuk perencanaan dan eksekusi operasi,”ujar dia. Tapi,tetap saja Prancis tidak mau NATO punya kontrol politik di misi itu.
”Ini adalah operasi yang dipimpin sekutu negara, jadi merekalah yang memegang kontrol dan negara Arab,Amerika Utara,dan Eropa berpartisipasi,”imbuh Juppe. Turki juga tak mau kalau NATO memimpin misi itu, karena Ankaramenolakpenggunaan kekuatan dan Libya dan keluar dari pertemuan perencanaan operasi di Paris. Tapi, Turki yang tetap membuka hubungandenganPemimpinLibya Muammar Khadafi,tampaknya akan tetap membiarkan NATO menjalankan operasi itu selama tidak menginvasi Libya dengan pasukan darat atau menduduki negara itu.
Sementara,Jerman juga tidak mau turut terlibat dalam operasi Libya.Berlin menolak aksi militer di negara itu. Di sisi lain, Norwegia punya enam jet tempur yang akan diterjunkan tapi tidak akan beraksi selama negara mana yang akan memimpin pasukan Sekutu itu belum jelas.
0 comments:
Posting Komentar