WASHINGTON – Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memberikan kewenangan menyerang Libya secara militer masih terus menjadi debat panas di Negeri Paman Sam.
New York Times menyebut putusan itu justru menyebabkan Obama menghadapi penentangan politik dari kanan dan kiri serta memperumit rencananya untuk menjaga agenda yang berfokus pada perekonomian dalam negeri. Di saat serangan udara terus berlanjut di Libya, Obama berusaha memproyeksikan suasana normal dan mengesampingkan peran AS.Dia meneruskan kunjungannya ke Amerika Selatan dan hanya sedikit menyinggung bahwa pasukan sekutu telah melakukan intervensi militer lagi di dunia muslim. Namun, beberapa Republikan memaparkan, Obama menunggu terlalu lama untuk melindungi pemberontak Libya, menolak menerjunkan kekuatan Amerika, dan tidak menjelaskan secara gamblang tujuan aksi itu.
Komentar mereka menyiratkan pola menyerang Obama sebagai pemimpin lemah, baik di dalam maupun luar negeri. “Saya tak tahu apa yang akhirnya membuat Presiden bergerak, tapi saya sangat khawatir bahwa sekarang kita akan duduk di kursi belakang,bukan menjalankan peran pemimpin,” ujar Senator Lindsey Graham,Republikan South Carolina, kepada Fox News Sunday. Aksi militer terhadap pasukan Kolonel Muammar Khadafi tak hanya menarik dukungan dari banyak politisi Demokrat, tapi juga kekhawatiran. Koalisi Demokrat liberal mengemukakan keberatan. Mereka beralasan Presiden telah melangkahi wewenangnya dengan tidak meminta persetujuan Kongres sebelum menyetujui serangan udara.
Menurut The Times, bagi Presiden yang masa jabatannya dipenuhi insiden-insiden yang tak pernah terjadi sebelumnya, dimulainya aksi militer yang memiliki risiko menjadi perang ketiga di Timur Tengah ini menciptakan dinamika baru yang konsekuensinya sulit ditebak. Obama berniat mengabdikan tahun ketiga masa baktinya itu untuk menunjukkan bahwa dia telah belajar dari pemilu midterm bahwa dia mampu menaikkan partisan dan memfokuskan diri untuk mencari solusi pengangguran dan masalah ekonomi jangka panjang negara. Tapi, dengan perkembangan di Libya, pria yang meraih kursi Gedung Putih dengan kekuatan sentimen antiperang empat tahun lalu itu kini punya tiga konflik besar di bawah komandonya. New York Times menyebut putusan itu justru menyebabkan Obama menghadapi penentangan politik dari kanan dan kiri serta memperumit rencananya untuk menjaga agenda yang berfokus pada perekonomian dalam negeri. Di saat serangan udara terus berlanjut di Libya, Obama berusaha memproyeksikan suasana normal dan mengesampingkan peran AS.Dia meneruskan kunjungannya ke Amerika Selatan dan hanya sedikit menyinggung bahwa pasukan sekutu telah melakukan intervensi militer lagi di dunia muslim. Namun, beberapa Republikan memaparkan, Obama menunggu terlalu lama untuk melindungi pemberontak Libya, menolak menerjunkan kekuatan Amerika, dan tidak menjelaskan secara gamblang tujuan aksi itu.
Komentar mereka menyiratkan pola menyerang Obama sebagai pemimpin lemah, baik di dalam maupun luar negeri. “Saya tak tahu apa yang akhirnya membuat Presiden bergerak, tapi saya sangat khawatir bahwa sekarang kita akan duduk di kursi belakang,bukan menjalankan peran pemimpin,” ujar Senator Lindsey Graham,Republikan South Carolina, kepada Fox News Sunday. Aksi militer terhadap pasukan Kolonel Muammar Khadafi tak hanya menarik dukungan dari banyak politisi Demokrat, tapi juga kekhawatiran. Koalisi Demokrat liberal mengemukakan keberatan. Mereka beralasan Presiden telah melangkahi wewenangnya dengan tidak meminta persetujuan Kongres sebelum menyetujui serangan udara.
Selama dua tahun terakhir, Obama yang mewarisi perang Irak dan Afghanistan saat dilantik berulang kali memaparkan pendekatan multilateral untuk mengatasi konflik. Keputusan bergabung dengan serangan militer terhadap Khadafi tampaknya akan memicu debat lebih lanjut mengenai konsistensi doktrin Obama dalam mendefinisikan kepentingan nasional dan kebutuhan penggunaan kekuatan, sesuatu yang dapat merenggangkan hubungan dengan liberal yang sudah tidak tahan dengan eskalasi perang di Afghanistan dan seharusnya tidak mengalihkan perhatian terhadap kebijakan domestik dan inisiatif politiknya.
Imej terpisah Obama— muncul di Brasil ketika aksi militer berlanjut di Libya dan prospek penutupan pemerintah di Washington tetap mungkin terjadi—menghidupkan poin jualannya pada kampanye Pemilu 2008.Ketika Senator John McCain menghentikan kampanyenya untuk berfokus pada ekonomi, Obama menuturkan,”Ini akan jadi bagian dari tugas Presiden untuk menghadapi lebih dari satu masalah di sekali waktu.” Aksioma itu telah diuji beberapa kali selama tahun pertama masa jabatannya. “Upayanya adalah menemukan keseimbangan antara krisis kebijakan luar negeri saat ini dan tantangan dalam negeri jangka panjang,”ujar Dan Pfeiffer, Direktur Komunikasi Gedung Putih, kepada The Times.
“Tantangannya adalah untuk tidak membiarkan sesuatu yang tidak bisa Anda kontrol membanjiri kepresidenan.” Kandidat presiden dari Republikan pada 2012, yang biasanya cepat mengkritik Obama dalam banyak topik,memilih tutup mulut mengenai aksi militer di Libya.Mantan Ketua DPR AS Newt Gingrich adalah satu-satunya kandidat Republikan yang mengeluarkan pernyataan. Dia mengkritik aksi itu sebagai aksi amatiran oportunis tanpa perencanaan.“Apa standar Obama?”tanyanya.“Apa itu berhasil?
Apa kita disiapkan meraih kesuksesan itu?” Obama telah berjanji tidak akan menempatkan pasukan darat Amerika di Libya.Tapi, beberapa Republikan menandaskan, dia harus menjelaskan tujuan AS di Libya.
0 comments:
Posting Komentar