DIRGAHAYU KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESI KE 71 TH. JAYA SELALU !!!

Rabu, 23 Maret 2011

Jangan Pernah Lari dari Realitas

Rabu, 23 Maret 2011
Tantangan dan kenyataan hidup adalah hal yang harus dihadapi. Manusia tidak bisa lari dari hal tersebut.Pesan mendiang ibunya itulah yang selalu ditanamkan dalam diri Firmanzah,Dekan Fakultas Ekonomi UI.

Firmanzah masih ingat kala masih kanak-kanak,dia pernah menonton film di televisi bareng dengan kakak-kakaknya.Lalu, ada adegan berciuman.Seorang kakaknya memalingkan muka agar tidak melihat adegan tersebut.Melihat aksi semacam itu,sang ibu memarahi kakak Firmanzah. Si ibu meminta anaknya itu tidak memalingkan muka.Itu karena sekalipun si anak memalingkan muka,realitas itu tetap ada.Film itu tidak akan berubah,sekalipun si kakak memalingkan muka.

Itulah pelajaran masa kecil yang hingga kini terus dikenang Firmanzah mengenai ibunya yang begitu keras mengajari anak-anaknya agar berani menghadapi realitas. Dari situ,Firmanzah mengambil hikmah bahwa realitas harus dihadapi.Lari dari realitas,bukan berarti akan mencapai keselamatan.Dari cerita masa kecil itu juga, Firmanzah ditanamkan pemahaman bahwa dalam menghadapi realitas yang tidak disukai,tetap harus tegar menghadapinya.Untuk itu,perlu menjadi diri sendiri dan jangan lari dari lingkungan ketika tidak disukai.
Sejak kecil,nilai-nilai seperti inilah yang selalu disampaikan sang ibu. Hal ini juga yang menjadi pegangan Firmanzah dalam menghadapi problematika di negeri ini.Firmanzah mengakui banyak problem yang dihadapi negeri ini.Namun,hal itu bukan berarti dia harus pergi dan mencari peruntungan lebih baik di negeri orang.Padahal,sebagai orang yang potensial,Fiz—begitu dia biasa disapa—sangat mungkin mencari pekerjaan dengan gaji besar di negara lain. Ketika di Prancis,dia pernah ditawari sebagai staf pengajar tetap.Namun,dia lebih memilih kembali ke Indonesia dan masuk ke dalam sistem untuk membantu memperbaikinya.

“Saya sering diingatkan ibu saya.Yang sangat memengaruhi alam bawah sadar saya adalah ibu.Bottom linealam bawah sadar saya itu selalu kebangsaan dan kenegaraan.Itu juga yang membuat saya pulang ke Indonesia,”kata Fiz kepada Seputar Indonesia. Sosok ibu memang sangat berpengaruh pada diri peraih gelar doktor bidang Strategic and International Management dari University of Pau et Pays de’l Adour,Prancis,ini.Dia adalah anak ke-8 dari 9 bersaudara.Masa kecil Fiz hingga jenjang sekolah menegah atas (SMA) dihabiskan di Surabaya,Jawa Timur.

Sejak kecil,dia telah dibiasakan mandiri oleh ibunya,Kusweni. Sejak Fiz berusia 2 tahun,sang ibu telah bercerai dengan Abdul Latif,sang ayah. Tempaan mental cukup keras diberikan sang ibu agar tidak lari dari kenyataan.“Banyak hal yang diajarkan dan ditunjukkan ibu saya bahwa baik buruknya realitas,kita harus terima.Suka atau tidak,itu adalah kenyataan. Kita tidak bisa lari dari semua itu.Hadapilah dalam kondisi senang dan sulit.Itu adalah kenyataan hidup.Jadi,saya diharuskan memahami realitas. Ibu saya sangat tegas.Tetapi,itu membantu saya ketika masamasa sulit.Itu yang selalu saya ingat dari nasihat ibu saya,” kenang pria kelahiran Surabaya, 7 Juli 1976,ini.

Mengubah Paradigma

Fiz menyadari bahwa tidak mudah untuk mengubah tradisi dan sistem yang dinilai negatif. Namun,jika masuk ke dalamnya, Fiz yakin bisa berkontribusi untuk memperbaikinya.Filosofi ini juga yang diterapkannya kala mengelola fakultas.Dia berusaha mengubah budaya birokrat menjadi public service. Hal ini berarti mengubah paradigma dari penguasa menjadi pelayan publik. Paradigma ini diharapkan tidak hanya terjadi di kampus,juga pada pemerintahan,baik pusat maupun daerah.

Sebagai seorang dekan, Firmanzah bertekad untuk memberikan yang terbaik yang dimilikinya,termasuk memberikan komitmen yang kuat.Komitmen itulah yang akan berkontribusi besar pada perubahan yang akan terjadi. Firmanzah mencontohkan,ketika menghadapi kondisi sulit,salah satu hal yang dilakukannya adalah menurunkan gajinya sebagai dekan.Dia harus pandaipandai menyesuaikan diri, bukan sebaliknya,stakeholder yang harus menyesuaikan diri.

“Perubahan itu hanya akan terjadi kalau kita mampu mengomunikasikan maksud dan keinginan kita agar bisa dipahami di setiap kelompok stakeholder yang kita hadapi,” ujar Firmanzah. Untuk menjalankan komitmen itu,menurut Firmanzah,tantangan terbesarnya adalah pada diri sendiri.Ini merupakan ujian untuk menunjukkan seberapa besar semangat dan tekad untuk melakukan perubahan,serta seberapa besar kecakapan untuk menyesuaikan dan berselancar di tengah-tengah suara-suara yang ada.

Sebagai dekan,dia memainkan tiga peran,yaitu administrasi,akademik (mengelola ilmu pengetahuan dan arah fakultas),dan politik (memimpin lembaga publik adalah memimpin kepentingan). Dengan posisi strategis di kampus yang kini dipimpinnya, Firmanzah berusaha untuk pandai menempatkan diri melakukan strategi hubungan (human relations).Terutama ketika bertemu para dewan guru besar.Ketika bertemu mereka, semua persiapan harus sudah terpenuhi karena mereka sarat pengalaman,baik di dunia kerja, birokrat,maupun akademik.

Firmanzah juga mengakui harus memperhatikan bahasa yang dipakai untuk berdebat.Dengan mahasiswa,tentunya pendekatannya berbeda,begitu juga dengan staf karyawan. Sebagai dekan,salah satu hal yang menjadi perhatian Firmanzah adalah biaya pendidikan.Menurut dia,pemerintah harus mempunyai komitmen yang kuat pada public university.Karena tidak mungkin public universitymembiayai diri sendiri seperti menaikkan biaya SPP seperti perguruan tinggi swasta.

Terlebih sekarang ini, persaingan di tingkat regional dan internasional semakin ketat.Dan, biaya riset tidak murah.Indonesia selalu mengeluhkan banyak brain drainyang diambil negara lain karena remunerasinya di sana lebih layak.Karena itu,menurut dia, pemerintah perlu melihat betapa pentingnya dunia pendidikan.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...