DIRGAHAYU KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESI KE 71 TH. JAYA SELALU !!!

Minggu, 09 Januari 2011

Pilkades, Otonomi dan Kemandirian Desa

Minggu, 09 Januari 2011
Di daerah tempat saya tinggal, Talukkuantan, akhir-akhir ini begitu marak pesta pemilihan kepala desa (pilkades). Berbagai atribut dengan lambang hasil palawija dari mulai spanduk, poster, dan atribut- atribut lain yang melambangkan masing-masing calon menghiasi hampir semua sudut desa. Pilkades merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun demokrasi pada tingkatan yang paling rendah. Idealisasi yang diharapkan tentu guna membangun kemandirian desa dalam konteks otonomi. Mengapa desa menjadi penting? Bagaimanapun secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. 
Desa juga telah lama eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum atau self governing community yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam. Di sinilah ada satu hal yang perlu dicatat bahwa di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu sering kali tersimpan pengalaman, jejak-jejak, kreativitas, serta pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir, dan juga sistem sosial tertentu. Dengan kenyataan seperti itu, yang terpenting saat ini adalah bagaimana memberi satu perspektif baru bahwa untuk menciptakan good governance, mendorong perubahan, melakukan transformasi sosial, serta mewujudkan desentralisasi perlu dilakukan pembaruan pada level yang paling bawah, yakni kemandirian dan pembaruan desa. Dan ajang pilkades yang bersih, dewasa, dan matang diharapkan dapat menjadi pintu masuk. Subordinasi dan intervensi negara yang berlebihan atas desa dalam perjalanannya ternyata banyak menimbulkan persoalan. Di antaranya terjadi pelumpuhan desa yang sebelumnya hadir sebagai institusi sosial yang otonom. Sering kali negara juga tak menghiraukan heterogenitas masyarakat adat. Karena itu, pemahaman tentang otonomi desa yang selama ini terkesan formalis, simbolik, lokalis, dan romantis harus dikaji ulang. Otonomi jelas bukan hanya sekadar automoney. Demikian juga kemandirian juga bukan berarti kesendirian. 

Otonomi desa dalam hal ini harus lebih dimaknai sebagai relasi antara desa dan negara yang mencerminkan keadilan. Otonomi bukan sekadar swadaya, tetapi merupakan pembagian kekuasaan dan sumber daya yang adil kepada desa. Otonomi desa harus lebih dipahami sebagai keleluasaan (discretionary), kekebalan (immunity), dan kemampuan (capacity) desa dalam mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan untuk mengelola sumber daya lokal. Ketiga hal tersebutlah yang akan membuat eksistensi desa lebih kuat dan mandiri. Beberapa hal di atas menjadi penting karena realitas selama ini menunjukkan bahwa sering kali terdapat kekeliruan dalam orientasi pembangunan desa. Pembangunan yang telah lama menjadi sindrom masyarakat Indonesia ternyata lebih diorientasikan ke penampilan fisik-material, bukan pada social sustainability. Akibatnya, masyarakat menderita kemiskinan mental, kepribadian, etika, moralitas, dan idealisme karena miskinnya proses pembelajaran sosial dalam pembangunan lantaran orientasi fisik-material telah menggerus segalanya. Bahkan, desain berbagai kebijakan dan program pembangunan desa tidak diterapkan secara berkelanjutan, melainkan menyerupai patahan- patahan proyek jangka pendek. Negara tidak mempunyai kerangka pengaturan tentang desa yang kokoh dan berkelanjutan, melainkan pola pengaturan darurat dan sering terjadi bongkar pasang. 
Atas dasar itu, ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan untuk membangun kemandirian desa dan agar desentralisasi lebih bermakna. Pertama, perlu dibuat pemerintahan nonhirarkis dengan cara membagi kewenangan secara proporsional antara pusat, daerah, dan desa. Kedua, perlu diciptakan local self government di desa yang berbasis pada self governing community. Ketiga, perlu penghargaan terhadap keunikan dan keragaman basis sosio-kultural lokal. Keempat, perlu membuat subsidiarity (pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara lokal). Di samping itu, yang juga sangat penting untuk membangun kemandirian adalah bahwa segala bentuk pembangunan harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, berbasis partisipasi masyarakat desa, serta ditopang dengan nilai-nilai demokrasi: akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan wadah representasi. 
Namun, penting dicatat bahwa pembaruan desa sebagai upaya menciptakan kemandirian tidaklah identik dengan romantisasi tata pemerintahan masa lampau. Yang terpenting, apa pun pilihan format penyelenggaraan pemerintahan desa yang dikehendaki dan ke mana pun arah pembaruan hendak dicanangkan, keterlibatan orang desa merupakan keharusan. Dengan begitu, sendi utama dari pembaruan dan kemandirian adalah sinergi. Pembaruan tidak bisa lagi didesain secara sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, berbagai inisiatif lokal dan corak khas dari setiap lokalitas pun perlu dipastikan memiliki sambungan dengan tatanan makro yang hendak dipolakan. Dan mudah-mudahan pilkades mampu berjalan dengan dewasa dan bisa menjadi fajar baru bagi terbitnya kemandirian desa.




Apris Wahyudi
Mahasiswa Universitas Islam Negri Sultan Syarif Qasim Riau,Pekanbaru

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...