Nama Islaminya adalah Maryam Noor. Sedangkan nama aslinya adalah Margaret Templeton.
Wanita ini lahir di Skotlandia dan tumbuh besar di keluarga atheis  sehingga ia pun tak percaya Tuhan. Dalam rumahnya anggota keluarga  dilarang berbicara tentang Tuhan. “Bahkan ketika kami belajar di  sekolah, kami tak dibolehkan menyoal itu di rumah, bila tidak kami  dihukum.”
Namun sejauh yang bisa ia ingat, Maryam selalu berupaya mencari  Kebenaran mengapa ia hidup di dunia. “Mengapa saya hidup dan apa yang  seharusnya saya lakukan.”
Ketika ia cukup dewasa, ia mulai mencari beberapa informasi tentang  ‘sosok  yang disebut Tuhan’ yang selalu disebut oleh orang-orang dan  didengar Maryam selama hidupnya. “Saya mencari Kebeneran, bukan agama  tertentu,” tutur Maryam.
“Kebenaran yang masuk akal bagi saya, sesuatu yang membuka hati saya  dan membuat saya layak untuk hidup,” ujarnya. Saat mencari ia memasuki  setiap jenis gereja baik di Inggris maupun dekat rumahnya. “Tak pernah  sebelumnya terbesit untuk berpikir tentang Islam.”
Maryam tertarik dengan Islam, namun saat itu perang tengah berkecamuk  di Irak dan ia membaca banyak hal mengerikan tentang Muslim di surat  kabar. “Saya merasa berpengalaman dan memiliki pendidikan dalam  mempelajari agama lain, sehingga saat itu pun saya berpikir semua itu  tak benar,” ungkap Maryam.
Ia pun mencari seseorang yang bisa mengajarinya dan memberi tahunya  tentang Islam dan cara hidup berdasar agama ini. “Sehingga saya bisa  membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang berasal dari tipu  daya setan,” tutur Maryam.
Satu hal yang selalu ia lakukan selama pencarian, ia sellau berbicara  dengan siapa pun dan tersenyum dan menyapa setiap orang. ” Saya berkata  ‘Halo’, ‘Bagaimana kabarmu?’, ‘Bagaimana harimu?’, karena Yesus selalu  menyebarkan kebahagiaan di mana pun dan kapan pun ia berada. Saat itu  saya penganut Katholik Roma,” ungkap Maryam.
Namun ia merasa tak bahagia dengan agama tersebut dan akhirnya  meninggalkan gereja. “Tapi saya tak tahu kemana lagi harus pergi,”  ujarnya.
Di saat bersamaan ia tengah mencari pula guru Islam. “Saya berdoa  setiap saat, setiap hari kepada Tuhan ‘Bantu aku, bantu aku, bantu aku’.  Ia lakukan itu berulang-ulang, terus menerus selama dua tahun. “Karena  saya tak tahu apa yang harus diperbuat dan pergi ke mana,” ungkap  Maryam.
Hingga suatu hari seorang kawan dari temannya membawa seorang yang  alim ulama. Namanya Nur El-Din. Ia adalah seorang Arab yang lahir di  negara itu. Ia mengundang Maryam untuk datang ke rumahnya dan memberi  tahu buku apa yang harus dibeli dan apa yang harus ia lakukan. Bahkan  Nur membuka diri untuk dihubungi kapan saja bila Maryam memiliki  pertanyaan. “Itulah hubungan kami, ada tujuh volume buku yang saya baca  mengenai tafsir dan terjemahan terhadap Al Qur’an dan buku itu sangat  luar biasa.”
Maryam pun mulai mengkaji Islam. Ia membuka buku pertamanya dan  membaca kata pengantar. Ia tidak memulai dari belakang, melainkan dari  depan. Ia langsung menuju surah Al Baqarah.
Sebelum Al Baqarah terdapat Surah Al Fatihah. Rupanya Maryam kembali  ke awal lagi dan membaca umul kitab tersebut. “Begitu saya membaca,  rasanya seperti tersambar. Air mata saya bercucuran. Hati saya berdebar  keras, saya berkeringat dan gemetar,” tutur Maryam.
Awalnya ia takut itu adalah godaan setan. “Seperti ia mencoba  menghentikan saya karena saya mungkin menemukan jalan, karena buku ini  mungkin membukakan saya menuju Kebenaran, sesuatu yang selama ini saya  cari,” ujarnya.
Maryam pun langsung menelpon Nur El-Din. “Ia berkata datanglah saya  ingin bertemu kamu. Saya pun pergi ke tempatnya. Saat itu musim dingin,  begitu sampai rasanya tubuh saya seperti balok es,” ungkapnya.
Ia menuturkan pengalaman kepada Nur El-Din. “Saya berkata padanya ini  pasti ulah setan, apa yang harus saya perbuat?” ujarnya. Maryam  menuturkan kala air matanya bercucuran ia bisa melihat jelas ke dalam  hatinya, begitu besar, merah–alih-alih terang, dan tidka berbentuk sama  sekali. “Saya sangat takut,” ujarnya.
Nur El-Din pun berkata padanya, “Margaret, dikau akan menjadi seorang  Muslim.” Maryam membalas, “Tapi saya tidak membaca buku-buku ini untuk  menjadi seorang Muslim. Saya membaca demi membantah semua kebohongan  yang telah disebarkan di media mengenai Muslim,” ujarnya. “Saya tak  ingin menjadi Muslim,” kata Maryam lagi.
Namun Nur El-Din tetap pada keyakinannya. “Margeret dikau akan  menjadi Muslim karena, baiklah saya harus memberi tahumu bahwa ada  campur tangan kekuatan Tertinggi dalam hidupnya. “Saat itu saya berusia  65 tahun. Kini saya 66 tahun dan saya telah menjadi Muslim selama satu  tahun.”
Ia akhirnya melakukan kajian lebih dalam lagi dengan si ulama mulai  November hingga Februari. Akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk  bersegera mengucap syahadat. Saat dorongan itu timbul Maryam sempat  bertanya apakah itu tak terlalu terburu-buru baginya.
“Anda tahu, ketika bertanya itu, alasannya bukan lagi karena saya tak  mau menjadi Muslim. Saya telah meyakini bahwa Allah akan selalu  mengampuni hambanya, yang saya pikirkan saya terlalu kecil, terlalu  banyak dosa, dan hidayah itu rasanya hadiah terlalu besar bagi saya yang  tak seberapa,” tutur Maryam.
Nur El Din hanya berkata satu kata “Nur”. Saat itu 11 Februari 2003,  Maryam duduk sedikit jauh dari Nur El Din yang berpakaian serba putih  mulai. “Ulangi persis seperti yang saya ucap,” ujar Nur El Din. Ia  mengucapkan syahadat yang langsung diulang oleh Maryam.
Usai mengucap syahadat Maryam bertanya, “Apa yang barusan saya  ucapkan?”. Nur El Din memaparkan artinya dalam Bahasa Inggris. Setelah  itu ia pun resmi menjadi Muslim dan mengganti namanya dengan Maryam.
“Saya tak bisa berkata bahwa saya Muslim yang baik, karena itu luar  biasa sulit,” ungkap Maryam. “Saya kehilangan semua teman Katholik,  semua teman mengobrol saya. Bahkan putri saya menganggap saya gila.  Satu-satunya yang percaya saya adalah putra saya yang mengatakan mungkin  saya menemukan Kebenaran. Ia adalah salah satunya yang mungkin menyusul  saya menjadi Muslim,” ungkapnya.
Tantangan terberat yang dirasakan Maryam adalah tempat tinggal di  mana ia hidup di dunia sekuler, bukan dunia Muslim. “Dengan sepenuh  hati, saya ingin tinggal di dunia Muslim dan memiliki komunitas Muslim.  Saya satu-satunya Muslim yang tinggal di kawasan ini. Namun Allah selalu  baik kepada saya karena ditengah kesulitan, saya tetap bahagia dan  terus memiliki kesempatan belajar,”
Maryam mengaku kini membaca Al Qur’an dalam terjemahaan Bahasa  Inggris. “Usia saya sungguh membuat saya sulit menghafal jadi saya  menggunakan buku terjemahan. Dan saya memohon pada Allah, ‘Mohon Ya  Allah yang Maha Pengasih dan Penyanyang, saya hanyalah seorang bayi  berusia 65 tahun dan saya memiliki kesulitan dan bantulah aku,” setiap  saya berdoa itu saya selalu menemukan jalan. Ia benar-benar membantu  saya.”





0 comments:
Posting Komentar