Suatu sore saat langit cerah namun teduh, dengan angin bertiup semilir, di halaman sebuah rumah  berpagar tinggi, seorang ayah yang telah lanjut usia dan anak lelakinya  yang masih muda tampak sedang duduk dibangku taman. Bersantai sambil  menikmati suasana sore hari yang nyaman.
Sang  anak asyik membaca koran, sedang sang ayah tampak hanya diam terpekur  memandangi tanaman. Ketika tiba-tiba seekor burung pipit hinggap di  dedaunan tanaman yang berada didekat sang ayah, ia bertanya kepada  anaknya,
Setelah melihat sejenak kearah tanaman sang anak menjawab ringan,
"Itu burung pipit yah", kemudian ia melanjutkan membaca koran.
Sang ayah memandang kearah burung itu lagi, kemudian bertanya kembali,
"Apa itu nak?"
"Sudah aku katakan burung pipit yah", jawab si anak dengan nada sedikit kesal.
Sang  ayah masih memandangi burung pipit tersebut, yang tak lama kemudian  terbang dan hinggap kembali di tanah disisi lain dari halaman tersebut.  Dengan pandangan yang masih lekat pada burung itu kembali sang ayah  bertanya,
"Itu apa sih nak?".
"Burung  pipit ayah . . burung pipit . ." jawab sang anak yang kesal. "P . . I. .  P. . I. . T !" lanjut sang anak sambil mengeja dengan marah.
Sang ayah yang masih ragu dengan penglihatannya yang mulai kurang baik, bertanya kembali,
"Apakah itu?"
Kali ini sang anak benar-benar marah dengan nada keras ia menjawab,
"Mengapa  ayah menanyakan ini terus-menerus?! Bukankah sudah berulang kali  kukatakan bahwa itu burung pipit . . tidak bisakah engkau mengerti!!"
Mendengar hardikan anaknya, sang ayah yang merasa sakit hati kemudian bangkit dari duduknya untuk masuk ke dalam rumah.
"Mau kemana?!" tanya sang anak.
Sang ayah tidak menjawab hanya memberikan isyarat tangan yang berarti "sudahlah" dan melanjutkan langkahnya ke dalam rumah dengan langkah gontai dan hati yang sedih.
Sang  anak meskipun kesal menyadari bahwa ia tidak sepantasnya membentak  ayahnya yang telah lanjut usia. Tapi peristiwa tadi memang sungguh  membuatnya kesal dan menghilangkan selera untuk meneruskan membaca  koran.
Saat  sang anak masih termanggu, sang ayah kembali sambil membawa sebuah buku  yang ternyata adalah buku hariannya. Sang ayah duduk kembali disebelah  anaknya, sambil membolak-balik halaman buku seperti mencari sesuatu.
Setelah ketemu halaman yang dicarinya ia sodorkan buku harian tersebut ke tangan anaknya, sambil menunjuk bagian yang ia ingin agar anaknya membacanya.
Sang  anak menerima buku harian tersebut dan melihat bagian yang ditunjukkan  oleh ayahnya. Sebelum ia mulai membaca ayahnya berkata,
"Yang keras ya . ." Ia ingin agar anaknya membaca buku hariannya dengan suara yang dapat terdengar jelas.
"Hari ini putraku yang paling bungsu, yang beberapa hari yang lalu genap berusia 3 tahun" Sang anak mulai membaca,
"Sedang duduk bersamaku di bangku sebuah taman . . ketika tak lama kemudian ada seekor burung pipit yang hinggap dihadapan kami"
"Putraku bertanya hingga 21 kali padaku . . apakah itu?"
"Aku jawab sebanyak 21 kali sebanyak ia bertanya, bahwa itu adalah burung pipit"
"Aku selalu memeluknya dengan bahagia setiap kali ia bertanya dan mengulangi pertanyaannya"
"Sekali lagi dan lagi . ."
"Tanpa  sedikitpun aku merasa kesal, karena ia adalah putra kecilku dengan  wajah tanpa dosa dan dengan rasa ingin tahunya yang besar, aku malah  merasa bahagia dan senang"
Sampai  disitu sang anak berhenti membaca, apa yang barusan dibacanya bukan  hanya membuatnya menyadari kesalahannya, tapi membuatnya sungguh  menyesal telah memperlakukan ayahnya seperti tadi.
Sang anak terdiam, memandang ayahnya sejenak, dengan mata berkaca-kaca menahan tangis ia memeluk dan mencium kening ayahnya.
Meskipun  tidak ada kata-kata apapun yang terlontar dari mulut anaknya, sang ayah  tahu bahwa putra kesayangannya telah menyadari kesalahannya, ciuman dan  pelukan eratnya adalah tanda permintaan maaf darinya. Sang ayahpun  tersenyum bahagia. Suasana sore yang indah menjadi terasa semakin indah.






1 comments:
plese deh air mata qu jgn mengalir trus ...............agannnnnnnnnnnn, ekh ayah maksudna, he he
Posting Komentar